Selain
KH.Abdul Halim (Tokoh pendiri organisasi masyarakat PUI, dan juga
seorang Pahlawan Nasional), ada satu tokoh yang kharismatik dari
Majalengka, utamanya daerah utara Majalengka yaitu Bagus Rangin. Ayah
dari Bagus Rangin adalah Buyut Sentayem alias Buyut Tayem. Mempunyai 3
saudara lelaki, kakaknya bernama Buyut Bangin, sedangkan adiknya adalah
buyut Salimar dan Bagus Serit. Siapa Bagus Rangin ini, dan mengapa ia
disebut kharismatik ?
Bagus
Rangin bukanlah seorang Raja, ia hanya seorang rakyat biasa namun
memiliki semangat ksatria untuk melawan kekejaman dan kediktatoran
penguasa, baik itu pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun penguasa
lokal di Cirebon. Dalam setiap kesempatan Ia berdiri dan mengurai
khotbah pembangkitan. Sebuah khotbah yang panjang, yang menggugah
kesadaran makna hidup dan kehidupan rakyat setempat yang didera nestapa.
Juga khotbah politis yang menyoroti praktek-praktek tak benar penguasa
lokal Cirebon. “Pangeran (Allah) telah menjadikan dunia, sebagai
tempat kehidupan umat. Tapi oleh Sultan malah dijual kepada Cina dan
Kompeni, yang tak pernah merasa kenyang” katanya bergelora. Bagus
Rangin belum berhenti. Masih banyak pesan suci yang dipompakan untuk
membuka mata hati, yang sebelumnya seakan sudah mati harapan. Dia pun
berhasil. Warga tersadar akan kelemahannya selama ini.
Pada
waktu itu, beberapa pengusaha dari etnis Cina memang ikut
menyengsarakan masyarakat. Salah satu caranya, bersama Belanda, mereka
menyewa tanah-tanah dari Sultan Cirebon. Padahal tanah-tanah itu,
seperti kawasan utara Majalengka, juga termasuk wilayah Lohbener,
Dermayu, Loyang, dan sekitarnya merupakan sumber kehidupan rakyat.
Walhasil,
ketiadaan sumber kehidupan telah memunculkan kelaparan. Sampai-sampai
rakyat terpaksa harus makan dedaunan dan rumput. Akibat lebih lanjut,
banyak diantara masyarakat berguling-guling di tanah sembari memegangi
perut. Semua merintih kesakitan. Di luar itu, sulitnya kehidupan telah
membuat sebagian orang menjual diri (hal ini terus berkelanjutan mungkin
hingga sekarang juga, seperti dilukiskan dalam tembang pantura “remang-remang”) .
Dengan
kenyataan itu, masuk akal jika rakyat begitu benci dengan Babah –juga
Belanda–setelah mendengarkan khotbah pencerahan dari Bagus Rangin. Simaklah kata-kata seperti Babah
mah bakal dicacag / Disiksik diipis-ipis / Dicacag diwalang-walang /
Getihna arek diuyup / Diburakeun ka bangawan / Sugan lauk baranahan /
Tulangna diawur-awur / Leuweung jati sugan subur / Polona arek dicokrok /
Diburakeun ka galengan / Rawinian sugan montok. Di sini, antara lain, terungkap tekad bahwa tubuh Babah yang tertangkap bakal diiris-iris, dihancurkan, dan sebagainya.
Kenyataan
sejarah tetap tak layak diubah. Kalaupun sejarah ini kembali
dituliskan seperti dalam catatan ini, tentu tak ada maksud sama sekali
untuk membangkitkan perasaan yang sama, seperti di hati rakyat wilayah
Kasultanan Cirebon di masa Bagus Rangin hidup. Selain zaman sudah
berubah–(kini lebih terbuka)– rasa kekhawatiran bakal munculnya
kebencian berlebihan kepada etnis Cina diyakini tak akan terjadi. Cara
berpikir orang sekarang sudah jauh lebih dewasa. Pada masa sekarang
kekhawatiran seperti itu tak perlu ada.
Setelah
rakyat Karaseidenan Cirebon terbangun kesadarannya, mereka bergerak
bersama Bagus Rangin. Semua ikhlas berjuang karena sudah disusupi
semangat: Mending gugur/Manan ngabdi ka kumpeni/Mending tumpur/Manan hirup dijajah babah.
Pertempuran
yang terjadi antara pasukan Bagus Rangin dan pasukan kolonial Hindia
Belanda pertama kalinya berlangsung pada 25 Februari 1806, hal ini
sesuai dengan resolusi Pemerintah Kolonial di Hindia Belanda yang
menyebutkan ada kerusuhan sosial di daerah Cirebon pada tanggal
tersebut. Daerah-daerah lain yang membantu Bagus Rangin adalah berasal
dari daerah Jatitujuh, Rajagaluh, Bangawan Wetan, Sumber, Bantarjati,
Cikao, Kandanghaur, Kuningan, Linggarjati, Luragung, Maja, Sumedang,
Karawang, dan Subang.
Gubernur
Jenderal Hindia Belanda A.J. Wiese menugaskan kepada Nicolas
Engelhaard untuk meminta bantuan agar para bupati mengirimkan
pasukannya untuk melawan Bagus Rangin. Namun tidak semua Bupati menaati
perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut. Akibat membangkang
pada perintah kolonial Hindia Belanda, maka Sultan Kanoman Cirebon
Pangeran Suriawijaya dibuang oleh Belanda ke Ambon, dan dipecat dari
jabatan Sultan pada tanggal 2 Maret 1810 oleh Gubernur Jenderal
Daendells.
Perang
yang terjadi di Bantarjati dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812
adalah perang yang terakhir dan berakhir dengan kekalahan di pihak Bagus
Rangin. Akhirnya pada tanggal 27 Juni 1812 Bagus Rangin dapat
tertangkap oleh pasukan Belanda di daerah Panongan, Jatitujuh. Pada
tanggal 12 Juli 1812 Bagus Rangin dijatuhi hukuman mati dengan cara
dipenggal kepalanya di daerah Karangsambung, tepian sungai Cimanuk.
Bagus
Rangin pada akhirnya gugur, namun semangat pembelaan terhadap rakyat
yang ditindas patut dihargai dan diteruskan perjuangannya. Akhirnya 133
tahun setelah gugurnya itu, cita-cita terbesar Bagus Rangin dapat
terwujud. Apalagi kalau bukan kemerdekaan. Kemerdekaan yang
dicita-citakan oleh masyarakat adalah bukan tujuan dan bukan pula
sekedar penggantian penguasa untuk kemudian ganti berkuasa dan menindas.
Tetapi kemerdekaan adalah salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar