Bugis Madagascar
Madagascar dengan ibukotanya Antananarivo dengan
populasi 18,6 juta jiwa kita kenal sebagai sebuah negeri bekas koloni
Perancis, yang berdaulat pada tahun 1947 atau lebih tepat kita katakan
sebuah Kemerdekaan Hadiah, bukan sebuah kemenangan revolusi.
Tetapi
dalam proses/perjalanan konstitusi dan referendum Negara baru secara
penuh ditetapkan tanggal 26 Juni 1960 sebagai Hari Kemerdekaan
Madagascar. Nama Antananarivo sendiri bermaknaTANAH 1000 pejuang, terukir melalui relief di
gedung museum sejarah mereka ada 1000 pejuang yang tewas ketika
mempertahankan kota dalam memperjuangkan kemerdekaan yang mereka tuntut
pada masa itu.
Negeri yang dalam cerita lama lebih kita kenal melalui film RIN TINTIN cerita seekor anjing yang pintar (pada zaman TV masih B&W) sebagai
pulau buangan para hukuman dengan luas pantainya sebesar 5000 km, cukup
terkenal dengan kekayaan alamnya berupa batu permata,
minyak-bumi, uranium.
Dari sinilah para pedagang dunia dari Eropa, Thailand, China, Sri-lanka, Malaysia dan Indonesia mengambil batu mulia sejenis Syafir Ruby & Emerald serta
fosil kerang panca-warna berusia jutaan tahun yang bagi masyarakat
China Hongkong rela membayar mahal dan selalu dikantongi sebagai pembawa
rezeki & keberuntungan.
Sejarah mengukir pada zaman abad ke VII SM,
Madagascar menjadi pulau tujuan dan persinggahan bahari nenek moyang
pelaut Indonesia selain wilayah pesisir yang dihuni oleh kaum kulit
hitam yang tidak jelas asal usulnya, sebagian menyebutnya dari Mozambique, sebuah pulau yang hanya terpisah sejarak benang tipis saja.
Inilah awal sejarah mengapa orang Madagascar lebih senang disebut bangsa Malagassy daripada bangsa Africa. Memang kalau kita melihat mereka tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, warna kulit yang sawo matang, rambut yang ikal (tidak ngerungkel) seperti
Africa pada umumnya dan postur badan Indonesia yang sedang-sedang saja
dengan sorot mata khas Indonesia yang aduhai friendly.
Anda bisa lihat photo President Madagascar Marc Ravalomanana sama persis postur & bentuk wajahnya dengan orang Indonesia pada umumnya.
Siapa
Marc, yang dalam kepiawaiannya digelanggang politik melalui pemilu
2002, Marc berkiblat dibawah panji Amerika yang memberi dukungan penuh
ketika mengambil-alih kekuasaan sosialis dari penguasa lama, dan dia
membawa perubahan demokrasi secara perlahan serta pemikiran yang maju
untuk mencerdaskan rakyatnya. Dibawah kebijakannya pula dalam 10 tahun
terakhir ini Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran bahasa wajib dalam
kurikulum pendidikan.
Secara resmi ada 2 bahasa official, bahasa Perancis mereka pakai sebagai bahasa kedua dan bahasa nasional mereka disebut Bahasa Merina dengan dialek Malagasy (campuran
bahasa Melayu Indonesia). Awalnya Marc hanyalah seorang pengusaha
trading/distribution consumer goods yang mengawali karirnya sebagai
Walikota Tananarive dan sampai detik ini gurita bisnis sang presiden
mulai mendominasi pangsa pasar consumer goods dari hulu sampai hilir.
Kembali kita ke awal cerita …
Dan memang dalam catatan sejarah Madagascar, mereka mengakui bahwa para leluhur mereka memang datang dari kepulauan Indonesia (Indonesia Timur dan Pulau Jawa). Sejarah ini juga tertulis di KBRI kita di Antananarivo.
Kalau melihat sejarah kelautan Madagascar dengan kehidupan budaya nelayannya ada dugaan sukuBUGIS atau Makasar dan suku JAWA yang pertama menemukan kepulauan ini pada abad ke VIISM tersebut.
Kata
Makasar dipakai untuk sebutan bagi para seniman, pelukis dan pemahat –
juru photo. Penulis belum menemukan apakah kata Madagascar berasal dari
kata Makasar yang kemudian berubah karena pengaruh bahasa koloni
Perancis. Dari sisi bahasa bisa pula ditelusuri banyak ditemukan kosa
kata indonesia dan dialek daerah yang sama seperti (Joko/Jaka
Rondo/janda-mambunuh-murah-salam-manjahit-minakan = dibaca makan-tai
(maaf)=tai, bolo=dibaca bulu dll) untuk bilangan hitungan sama dengan
bahasa jawa > Sidji – Loro – Telu – opat – limo dan seterusnya.
Berkaitan dengan bahasa ini, seorang Missionaris WNI dari Vatican Imprimerie Chatolic Romo Dosmen D. Marbun, telah menerbitkan sebuah buku percakapan pada 2006 lalu yang diakui KBRI &Kementerian Pendidikan & Budaya Madagascar, sebagai pembuktian Sejarah & Budaya. Bahwa Indonesia & Madagascar
memang terkait erat, hubungan ini sampai saat ini terus berkesinabungan
melalui pentas budaya, pendidikan beasiswa D1-S1 dan S2 yang tersebar
di PTN di Jawa & SESKOAD.
Tercatat
juga ada 2 Jendral dari Angkatan Bersenjata Madagascar yang merupakan
Alumni Sesko-AD, Bandung dan 1 orang scholar Master di bidang agama
Islam yang saat ini bekerja sebagai staff local di KBRI Antananarivo.
Dalam perjalanannya, KBRI kita
juga membuka kursus Bahasa Indonesia dengan biaya relative murah dan
cukup diminati generasi muda Malagasy. Kursus ini dibina dengan sangat
baik oleh Drs. Adi Roagaswara, seorang alumni dari Universitas Pakuan Bogor. Uniknya di Mada (Maksudnya: Madagascar) berlaku 2 pemisahan asal, kita bisa melihat sebuah kondisi adanya 2 kasta yang berbeda, untuk Malagasy keturunan Indonesia dengan warna kulit yang sawo matang mereka sebut dirinya orang Tananarive (orang Kota), sedangkan orang Malagasy hitam dari keturunan Africa disebut orang pantai.
Dan
untuk di pemerintahan pada umumnya didominasi orang Tananarive, orang
pesisir pada umumnya banyak yang bekerja sebagai pedagang/kuli kasar dan
comunitas mereka dalam catur pemerintahan/politik selalu di
nomor-dua-kan oleh kaum berkuasa orang Tananarive.
Kesenjangan
social memang cukup terlihat antara kaum Tananarive dan kaum pesisir.
Sebuah celah dan potensi mudahnya membakar mereka yang dimanfaatkan oleh
para pemain/konseptor catur politik dunia “AMERIKA“ karena kesenjangan
inilah orang pantai membentuk aliansi politik sebagai partai oposisi.
Adalagi
yang menarik dari orang Malagasy, banyak diantara orang Tananarive yang
menikah dengan orang perancis dan keturunan mereka disebut Malagasy Methys, wajahnya sangat rupawan menawan dan umumnya diantara mereka banyak yang sukses dalam karir Business & Politik.
Namun
demikian Madagascar masih tercatat dalam urutan ke-25 sebagai negara
termiskin se-Africa yang beresiko tinggi untuk menjalin mitra business
bagi investasi asing (Data survey 2005 African News).
DIEGO SUAREZ & SAINTE MARIE, adalah 2 pulau wisata yang sangat indah dan menawan atau dikenal juga dikalangan masyarakat Eropa sebagai pulau BALI-nya Madagascar.
Kedua
pulau ini memberikan kontribusi bagi devisa negara dari kunjungan
wisatawan dari manca negara … untuk sampai kesana via udara + – 1jam
perjalanan atau 10 jam perjalanan via darat dari Antananarivo atau
tepatnya kota wisata ini berada 3 jam perjalanan darat via Tamatave.
Jika kita berkunjung ke Diego Suarez ada pemandangan yang terasa janggal bagi kita dimana mana kita akan melihat PRIA TUA ber-usia
40 s/d 50 tahunan yang bergandengan tangan dengan dara dara muda belia
seusia 15 tahunan … sesungguhnya mereka adalah pasangan suami istri .
Disini
ada tradisi yang sudah mengakar para lelakinya selalu kawin dalam usia
tua dengan gadis gadis muda yang masih begitu ranum & mengkal (emangnya mangga muda eeehhh).
Memang
ada Alkisahnya kata yang empunya cerita … bahwa para pria di Diego
Suarez termakan oleh kutukan para leluhurnya (di Mada kepercayaan
Animisme/traditional masih mendominasi 50 % dari kepercayaan yang
ada/Islam hanya 10 % dan 40% Kristen & Katolik ) dan sampai saat ini kehidupan SEX bebas masih menjadi tradisi umum yang dianggap sebagai hal biasa biasa saja dan kondisi ini jugalah yang menyebabkan AIDS tumbuh laksana jamur, adalah hal yang biasa anak dara seusia 12 tahunan sudah bukan perawan lagi.
Sementara untuk di SAINTE MARIE sendiri
… dalam setiap bulan Sept s/d Des selalu dikunjungi wisatawan, ada yang
unik disini… kalau di Indonesia kita tidak diperbolehkan untuk melihat ORANGKAWIN yang sedang berhubungan intim, maka di Saint Marie kita bisa melihat banyak IKAN PAUSyang
sedang bercinta di dalam air (tanpa busana lagi eeehhh) jadi setiap 3
bulan dalam setahun ikan paus memasuki perairan Saint Marie untuk
melakukan prosesi KAWIN MASSAL sesama paus
betina, dan adegan ini bisa disaksikan para wisatawan dalam jarak 50
meter dari atas palka kapal wisata mungkin ada rasa malu diantara mereka
kalau mereka kawin kita saksikan dalam jarak yang terlalu dekat, budaya
paus-kawin ini tidak memerlukan tuan Kadhi eeehhh, cukup kesaksian
para penonton.
Mempelajari
kebiasan mereka (Ikan Paus-Kawin) yang selalu mudik untuk kawin ke
Sainte Marie mungkin bagi mereka perairan ini begitu indahnya laksana
sebuah peraduan pelaminan pengantin baru para selebritis.
Disini
juga ada sebuah Hotel Terapung yang berada ditengah danau dangkal dan
jika kita menginap disana kita harus berjalan di air sedalam 30 s/d 50
cm sembari menjunjung kopor , jadi bisa dibayangkan juga seandainya ada
Tsunami disana bisa bisa kita terbawa harus kembali ke Ancol …siapa
tauuuuuuuu. (ketika terjadi Tsunami di Indonesia, Madagascar tepatnya di
Tamatave juga mengalami hal yang sama tetapi hanya tercatat beberapa
orang saja korban dari kaum nelayan).
Bagi
wisatawan yang berkantong tipis ada alternatif lain untuk menginap
ditempat yang relatif lebih terjangkau seperti menginap di pondok
pinggir pantai dibelahan sudut lain Sainte Marie yang
disekeliling nya bertumbuhan pohon kelapa dan kalau lagi apes bisa bisa
ketimpa buah kelapa tua yang jatuh diatap pondok penginapan . Tidaklah
mengherankan setiap wisatawan yang datang dan menginap di pondok yang
disampingnya ada pohon kelapa, sang receptionist selalu mengingatkan
ketika ketika bercinta, jangan membuat gempa terlalu kuat agar kelapanya
tidak jatuh berguguran(eeehhh ada ada aja mas.. ayoooo mas, siapa yang pingin bermain main dibawah pohon kelapa?).
Bugis Pulau Serangan
Orang Bugis di Pulau Serangan
Pulau
Penyu atau Pulau Serangan di sebelah selatan Pulau Bali bukan hanya
hamparan pasir putih dan panorama bahari. Namun sejarah tentang
kerukunan antara warga berbeda suku. Tepatnya kekerabatan antara Bugis
muslim dan warga setempat yang mayoritas Hindu. Mereka hidup rukun di
satu perkampungan yaitu Kampung Bugis. Usman dan Ali, contoh sosok warga
Kampung Bali yang lahir dari darah Sulawesi dan Bali. Ayah mereka Alkam
berasal dari Sopeng, Sulawesi Selatan dan ibunya, Made Rentik asli dari
Pulau Serangan. Setelah menikah, Made Rentik memeluk agama Islam dan
mengganti namanya menjadi Aisyah.Usman dan Ali merupakan contoh hasil
perkawinan campuran antara suku Bugis dan suku Bali. Tetapi, karena
sejarahnya kampung itu tetap disebut Kampung Bugis. Diperkirakan orang
Bugis mendarat di Pulau Serangan pada abad 17 atau setelah Belanda
menguasai Kerajaan Gowa. Rombongan yang dipimpin Syekh Haji Mukmin
meninggalkan Gowa karena tidak sepaham dengan peraturan Pemerintah
Belanda. Apalagi ketika itu Belanda sangat mengendalikan kehidupan
maritim setempat. “Jadi ada dua saudara. Satu pro-Belanda satu lagi
anti-Belanda. Dia [anti-Belanda] terdampar di ujung timur Pulau
Serangan,” ungkap M. Mansyur, sesepuh Kampung Bugis.Tiba di Pulau
Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan. Kedatangan
mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok
Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud
datang ke Pulau Serangan. Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI
membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah
dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri
raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur
mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,”
kata Ida Cokorda.
Ida
Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada
dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon
untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan.
Usman
dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia
nelayan. Di luar Usman dan Ali atau sekitar 70 kepala keluarga di
Kampung Bugis, lebih memilih pekerjaan berbeda. Industri pariwisata dan
pesatnya pembangunan perlahan-lahan mengubah pola hidup warga setempat.
Kalaupun mereka berada di laut, lebih karena sebagai penyedia jasa
wisata bahari.
Kesetiaan
Usman dan Ali meneruskan bakat nenek moyang juga diperkuat kepiawaian
menyelam di laut. Mereka menyelam dengan peralatan sederhana sambil
memanah ikan. Hampir segala jenis ikan pernah ditangkap termasuk ikan
hias. Ikan tersebut dijual atau mereka makan sendiri.
Roda
kehidupan Kampung Bugis yang sebenarnya lebih terlihat kala suara azan
magrib terdengar. Setelah kumandang azan, seluruh warga akan datang ke
Masjid Assyuhada yang merupakan satu-satunya masjid di Kampung Bugis.
Usai menunaikan salat magrib, anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji.
Rutinitas ini persis dilakukan nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan.
Kecintaan
warga Kampung Bugis terhadap Islam, sejarah nenek moyang, adat istiadat
Suku Bugis terlihat dari sebuah alquran tua. Mereka memelihara alquran
tua itu karena konon dibawa Syekh Haji Mukmin. Ayat-ayat suci yang
ditulis dalam lembaran kertas masih terbaca jelas. Kitab itu dibungkus
dengan kain tebal berwarna hijau agar tidak rusak.
Alquran
dalam berbagai kesempatan dibawa keliling kampung atau warga setempat
menyebut acara ini dengan kirab. Mereka berkeliling sambil membaca
salawat nabi. Kitab alquran tua, lantunan shalawat nabi, dan makam Syekh
Haji Mukmin serta pengikutnya itu menjadi catatan penting keberadaan
Suku Bugis di Pulau Serangan. Catatan ini terus dipelihara meski proses
perkawinan antarsuku banyak terjadi. “Syekh Haji Mukmin Membawa bekal
satu kitab alquran. Dia berpesan kalau ada musibah atau bahaya apapun,
kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa alquran ini,” tutur M.
Mansyur. Sesepuh Kampung Bugis ini menambahkan, tidak seorang pun tahu
termasuk Syekh Haji Mukmin, siapa penulis alquran tersebut. “Ini tulisan
tangan,” kata Mansyur.
Di
luar catatan sejarah dan budaya suku Bugis di Pulau Serangan, selama 14
tahun terakhir, warga Kampung Bugis dan warga lain dihadapkan pada
persoalan baru, yaitu reklamasi pulau. Karena reklamasi, lahan yang
tadinya hanya 112 hektare disulap menjadi 481 hektare. Keadaan ini
membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat terutama menyangkut
kondisi lingkungan dan lahan lakah.
Dampak
lain, Usman dan Ali atau warga setempat juga makin sulit mencari ikan
hias yang dulu sering mereka tangkap sambil menyelam. Kerusakan mangrove
membuat ikan menjauh ke tengah samudra sehingga kehidupan bernelayan
sangat terganggu. Cara hidup orang Bugis kini bergeser ke daratan.
Kalaupun masih ada yang bertahan sebagai nelayan, karena tidak punya
pilihan lain. “Jadi, walaupun ada pendatang, tapi rel-rel dasar mereka
tetap Bugis, tetap orang Jawa tetap orang Madura, dan kami juga tetap
Hindu. Tetapi menghadapi hal-hal yang negatif, kami tetap satu,” kata
Ida Cokorda.
Kendati
begitu, Ida Cokorda memastikan warga Pulau Serangan tidak akan
kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut.
“Walaupun air laut asin, tapi kami [ikan] tidak asin,” kata Ida Cokorda.
Mansyur juga memastikan kerukunan antar penganut agama berbeda di Pulau
Serangan termasuk nomor satu di seputar Bali. “Tidak pernah satu kali
pun dari dulu terjadi [keributan],” tegas Mansyur.(KEN/Tim Liputan
Potret)
Bugis Madagascar
Madagascar dengan ibukotanya Antananarivo dengan
populasi 18,6 juta jiwa kita kenal sebagai sebuah negeri bekas koloni
Perancis, yang berdaulat pada tahun 1947 atau lebih tepat kita katakan
sebuah Kemerdekaan Hadiah, bukan sebuah kemenangan revolusi.
Tetapi
dalam proses/perjalanan konstitusi dan referendum Negara baru secara
penuh ditetapkan tanggal 26 Juni 1960 sebagai Hari Kemerdekaan
Madagascar. Nama Antananarivo sendiri bermaknaTANAH 1000 pejuang, terukir melalui relief di
gedung museum sejarah mereka ada 1000 pejuang yang tewas ketika
mempertahankan kota dalam memperjuangkan kemerdekaan yang mereka tuntut
pada masa itu.
Negeri yang dalam cerita lama lebih kita kenal melalui film RIN TINTIN cerita seekor anjing yang pintar (pada zaman TV masih B&W) sebagai
pulau buangan para hukuman dengan luas pantainya sebesar 5000 km, cukup
terkenal dengan kekayaan alamnya berupa batu permata,
minyak-bumi, uranium.
Dari sinilah para pedagang dunia dari Eropa, Thailand, China, Sri-lanka, Malaysia dan Indonesia mengambil batu mulia sejenis Syafir Ruby & Emerald serta
fosil kerang panca-warna berusia jutaan tahun yang bagi masyarakat
China Hongkong rela membayar mahal dan selalu dikantongi sebagai pembawa
rezeki & keberuntungan.
Sejarah mengukir pada zaman abad ke VII SM,
Madagascar menjadi pulau tujuan dan persinggahan bahari nenek moyang
pelaut Indonesia selain wilayah pesisir yang dihuni oleh kaum kulit
hitam yang tidak jelas asal usulnya, sebagian menyebutnya dari Mozambique, sebuah pulau yang hanya terpisah sejarak benang tipis saja.
Inilah awal sejarah mengapa orang Madagascar lebih senang disebut bangsa Malagassy daripada bangsa Africa. Memang kalau kita melihat mereka tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, warna kulit yang sawo matang, rambut yang ikal (tidak ngerungkel) seperti
Africa pada umumnya dan postur badan Indonesia yang sedang-sedang saja
dengan sorot mata khas Indonesia yang aduhai friendly.
Anda bisa lihat photo President Madagascar Marc Ravalomanana sama persis postur & bentuk wajahnya dengan orang Indonesia pada umumnya.
Siapa
Marc, yang dalam kepiawaiannya digelanggang politik melalui pemilu
2002, Marc berkiblat dibawah panji Amerika yang memberi dukungan penuh
ketika mengambil-alih kekuasaan sosialis dari penguasa lama, dan dia
membawa perubahan demokrasi secara perlahan serta pemikiran yang maju
untuk mencerdaskan rakyatnya. Dibawah kebijakannya pula dalam 10 tahun
terakhir ini Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran bahasa wajib dalam
kurikulum pendidikan.
Secara resmi ada 2 bahasa official, bahasa Perancis mereka pakai sebagai bahasa kedua dan bahasa nasional mereka disebut Bahasa Merina dengan dialek Malagasy (campuran
bahasa Melayu Indonesia). Awalnya Marc hanyalah seorang pengusaha
trading/distribution consumer goods yang mengawali karirnya sebagai
Walikota Tananarive dan sampai detik ini gurita bisnis sang presiden
mulai mendominasi pangsa pasar consumer goods dari hulu sampai hilir.
Kembali kita ke awal cerita …
Dan memang dalam catatan sejarah Madagascar, mereka mengakui bahwa para leluhur mereka memang datang dari kepulauan Indonesia (Indonesia Timur dan Pulau Jawa). Sejarah ini juga tertulis di KBRI kita di Antananarivo.
Kalau melihat sejarah kelautan Madagascar dengan kehidupan budaya nelayannya ada dugaan sukuBUGIS atau Makasar dan suku JAWA yang pertama menemukan kepulauan ini pada abad ke VIISM tersebut.
Kata
Makasar dipakai untuk sebutan bagi para seniman, pelukis dan pemahat –
juru photo. Penulis belum menemukan apakah kata Madagascar berasal dari
kata Makasar yang kemudian berubah karena pengaruh bahasa koloni
Perancis. Dari sisi bahasa bisa pula ditelusuri banyak ditemukan kosa
kata indonesia dan dialek daerah yang sama seperti (Joko/Jaka
Rondo/janda-mambunuh-murah-salam-manjahit-minakan = dibaca makan-tai
(maaf)=tai, bolo=dibaca bulu dll) untuk bilangan hitungan sama dengan
bahasa jawa > Sidji – Loro – Telu – opat – limo dan seterusnya.
Berkaitan dengan bahasa ini, seorang Missionaris WNI dari Vatican Imprimerie Chatolic Romo Dosmen D. Marbun, telah menerbitkan sebuah buku percakapan pada 2006 lalu yang diakui KBRI &Kementerian Pendidikan & Budaya Madagascar, sebagai pembuktian Sejarah & Budaya. Bahwa Indonesia & Madagascar
memang terkait erat, hubungan ini sampai saat ini terus berkesinabungan
melalui pentas budaya, pendidikan beasiswa D1-S1 dan S2 yang tersebar
di PTN di Jawa & SESKOAD.
Tercatat
juga ada 2 Jendral dari Angkatan Bersenjata Madagascar yang merupakan
Alumni Sesko-AD, Bandung dan 1 orang scholar Master di bidang agama
Islam yang saat ini bekerja sebagai staff local di KBRI Antananarivo.
Dalam perjalanannya, KBRI kita
juga membuka kursus Bahasa Indonesia dengan biaya relative murah dan
cukup diminati generasi muda Malagasy. Kursus ini dibina dengan sangat
baik oleh Drs. Adi Roagaswara, seorang alumni dari Universitas Pakuan Bogor. Uniknya di Mada (Maksudnya: Madagascar) berlaku 2 pemisahan asal, kita bisa melihat sebuah kondisi adanya 2 kasta yang berbeda, untuk Malagasy keturunan Indonesia dengan warna kulit yang sawo matang mereka sebut dirinya orang Tananarive (orang Kota), sedangkan orang Malagasy hitam dari keturunan Africa disebut orang pantai.
Dan
untuk di pemerintahan pada umumnya didominasi orang Tananarive, orang
pesisir pada umumnya banyak yang bekerja sebagai pedagang/kuli kasar dan
comunitas mereka dalam catur pemerintahan/politik selalu di
nomor-dua-kan oleh kaum berkuasa orang Tananarive.
Kesenjangan
social memang cukup terlihat antara kaum Tananarive dan kaum pesisir.
Sebuah celah dan potensi mudahnya membakar mereka yang dimanfaatkan oleh
para pemain/konseptor catur politik dunia “AMERIKA“ karena kesenjangan
inilah orang pantai membentuk aliansi politik sebagai partai oposisi.
Adalagi
yang menarik dari orang Malagasy, banyak diantara orang Tananarive yang
menikah dengan orang perancis dan keturunan mereka disebut Malagasy Methys, wajahnya sangat rupawan menawan dan umumnya diantara mereka banyak yang sukses dalam karir Business & Politik.
Namun
demikian Madagascar masih tercatat dalam urutan ke-25 sebagai negara
termiskin se-Africa yang beresiko tinggi untuk menjalin mitra business
bagi investasi asing (Data survey 2005 African News).
DIEGO SUAREZ & SAINTE MARIE, adalah 2 pulau wisata yang sangat indah dan menawan atau dikenal juga dikalangan masyarakat Eropa sebagai pulau BALI-nya Madagascar.
Kedua
pulau ini memberikan kontribusi bagi devisa negara dari kunjungan
wisatawan dari manca negara … untuk sampai kesana via udara + – 1jam
perjalanan atau 10 jam perjalanan via darat dari Antananarivo atau
tepatnya kota wisata ini berada 3 jam perjalanan darat via Tamatave.
Jika kita berkunjung ke Diego Suarez ada pemandangan yang terasa janggal bagi kita dimana mana kita akan melihat PRIA TUA ber-usia
40 s/d 50 tahunan yang bergandengan tangan dengan dara dara muda belia
seusia 15 tahunan … sesungguhnya mereka adalah pasangan suami istri .
Disini
ada tradisi yang sudah mengakar para lelakinya selalu kawin dalam usia
tua dengan gadis gadis muda yang masih begitu ranum & mengkal (emangnya mangga muda eeehhh).
Memang
ada Alkisahnya kata yang empunya cerita … bahwa para pria di Diego
Suarez termakan oleh kutukan para leluhurnya (di Mada kepercayaan
Animisme/traditional masih mendominasi 50 % dari kepercayaan yang
ada/Islam hanya 10 % dan 40% Kristen & Katolik ) dan sampai saat ini kehidupan SEX bebas masih menjadi tradisi umum yang dianggap sebagai hal biasa biasa saja dan kondisi ini jugalah yang menyebabkan AIDS tumbuh laksana jamur, adalah hal yang biasa anak dara seusia 12 tahunan sudah bukan perawan lagi.
Sementara untuk di SAINTE MARIE sendiri
… dalam setiap bulan Sept s/d Des selalu dikunjungi wisatawan, ada yang
unik disini… kalau di Indonesia kita tidak diperbolehkan untuk melihat ORANGKAWIN yang sedang berhubungan intim, maka di Saint Marie kita bisa melihat banyak IKAN PAUSyang
sedang bercinta di dalam air (tanpa busana lagi eeehhh) jadi setiap 3
bulan dalam setahun ikan paus memasuki perairan Saint Marie untuk
melakukan prosesi KAWIN MASSAL sesama paus
betina, dan adegan ini bisa disaksikan para wisatawan dalam jarak 50
meter dari atas palka kapal wisata mungkin ada rasa malu diantara mereka
kalau mereka kawin kita saksikan dalam jarak yang terlalu dekat, budaya
paus-kawin ini tidak memerlukan tuan Kadhi eeehhh, cukup kesaksian
para penonton.
Mempelajari
kebiasan mereka (Ikan Paus-Kawin) yang selalu mudik untuk kawin ke
Sainte Marie mungkin bagi mereka perairan ini begitu indahnya laksana
sebuah peraduan pelaminan pengantin baru para selebritis.
Disini
juga ada sebuah Hotel Terapung yang berada ditengah danau dangkal dan
jika kita menginap disana kita harus berjalan di air sedalam 30 s/d 50
cm sembari menjunjung kopor , jadi bisa dibayangkan juga seandainya ada
Tsunami disana bisa bisa kita terbawa harus kembali ke Ancol …siapa
tauuuuuuuu. (ketika terjadi Tsunami di Indonesia, Madagascar tepatnya di
Tamatave juga mengalami hal yang sama tetapi hanya tercatat beberapa
orang saja korban dari kaum nelayan).
Bagi
wisatawan yang berkantong tipis ada alternatif lain untuk menginap
ditempat yang relatif lebih terjangkau seperti menginap di pondok
pinggir pantai dibelahan sudut lain Sainte Marie yang
disekeliling nya bertumbuhan pohon kelapa dan kalau lagi apes bisa bisa
ketimpa buah kelapa tua yang jatuh diatap pondok penginapan . Tidaklah
mengherankan setiap wisatawan yang datang dan menginap di pondok yang
disampingnya ada pohon kelapa, sang receptionist selalu mengingatkan
ketika ketika bercinta, jangan membuat gempa terlalu kuat agar kelapanya
tidak jatuh berguguran(eeehhh ada ada aja mas.. ayoooo mas, siapa yang pingin bermain main dibawah pohon kelapa?).
Orang Bugis di Pulau Serangan
Pulau
Penyu atau Pulau Serangan di sebelah selatan Pulau Bali bukan hanya
hamparan pasir putih dan panorama bahari. Namun sejarah tentang
kerukunan antara warga berbeda suku. Tepatnya kekerabatan antara Bugis
muslim dan warga setempat yang mayoritas Hindu. Mereka hidup rukun di
satu perkampungan yaitu Kampung Bugis. Usman dan Ali, contoh sosok warga
Kampung Bali yang lahir dari darah Sulawesi dan Bali. Ayah mereka Alkam
berasal dari Sopeng, Sulawesi Selatan dan ibunya, Made Rentik asli dari
Pulau Serangan. Setelah menikah, Made Rentik memeluk agama Islam dan
mengganti namanya menjadi Aisyah.Usman dan Ali merupakan contoh hasil
perkawinan campuran antara suku Bugis dan suku Bali. Tetapi, karena
sejarahnya kampung itu tetap disebut Kampung Bugis. Diperkirakan orang
Bugis mendarat di Pulau Serangan pada abad 17 atau setelah Belanda
menguasai Kerajaan Gowa. Rombongan yang dipimpin Syekh Haji Mukmin
meninggalkan Gowa karena tidak sepaham dengan peraturan Pemerintah
Belanda. Apalagi ketika itu Belanda sangat mengendalikan kehidupan
maritim setempat. “Jadi ada dua saudara. Satu pro-Belanda satu lagi
anti-Belanda. Dia [anti-Belanda] terdampar di ujung timur Pulau
Serangan,” ungkap M. Mansyur, sesepuh Kampung Bugis.Tiba di Pulau
Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan. Kedatangan
mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok
Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud
datang ke Pulau Serangan. Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI
membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah
dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri
raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur
mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,”
kata Ida Cokorda.
Ida
Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada
dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon
untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan.
Usman
dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia
nelayan. Di luar Usman dan Ali atau sekitar 70 kepala keluarga di
Kampung Bugis, lebih memilih pekerjaan berbeda. Industri pariwisata dan
pesatnya pembangunan perlahan-lahan mengubah pola hidup warga setempat.
Kalaupun mereka berada di laut, lebih karena sebagai penyedia jasa
wisata bahari.
Kesetiaan
Usman dan Ali meneruskan bakat nenek moyang juga diperkuat kepiawaian
menyelam di laut. Mereka menyelam dengan peralatan sederhana sambil
memanah ikan. Hampir segala jenis ikan pernah ditangkap termasuk ikan
hias. Ikan tersebut dijual atau mereka makan sendiri.
Roda
kehidupan Kampung Bugis yang sebenarnya lebih terlihat kala suara azan
magrib terdengar. Setelah kumandang azan, seluruh warga akan datang ke
Masjid Assyuhada yang merupakan satu-satunya masjid di Kampung Bugis.
Usai menunaikan salat magrib, anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji.
Rutinitas ini persis dilakukan nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan.
Kecintaan
warga Kampung Bugis terhadap Islam, sejarah nenek moyang, adat istiadat
Suku Bugis terlihat dari sebuah alquran tua. Mereka memelihara alquran
tua itu karena konon dibawa Syekh Haji Mukmin. Ayat-ayat suci yang
ditulis dalam lembaran kertas masih terbaca jelas. Kitab itu dibungkus
dengan kain tebal berwarna hijau agar tidak rusak.
Alquran
dalam berbagai kesempatan dibawa keliling kampung atau warga setempat
menyebut acara ini dengan kirab. Mereka berkeliling sambil membaca
salawat nabi. Kitab alquran tua, lantunan shalawat nabi, dan makam Syekh
Haji Mukmin serta pengikutnya itu menjadi catatan penting keberadaan
Suku Bugis di Pulau Serangan. Catatan ini terus dipelihara meski proses
perkawinan antarsuku banyak terjadi. “Syekh Haji Mukmin Membawa bekal
satu kitab alquran. Dia berpesan kalau ada musibah atau bahaya apapun,
kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa alquran ini,” tutur M.
Mansyur. Sesepuh Kampung Bugis ini menambahkan, tidak seorang pun tahu
termasuk Syekh Haji Mukmin, siapa penulis alquran tersebut. “Ini tulisan
tangan,” kata Mansyur.
Di
luar catatan sejarah dan budaya suku Bugis di Pulau Serangan, selama 14
tahun terakhir, warga Kampung Bugis dan warga lain dihadapkan pada
persoalan baru, yaitu reklamasi pulau. Karena reklamasi, lahan yang
tadinya hanya 112 hektare disulap menjadi 481 hektare. Keadaan ini
membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat terutama menyangkut
kondisi lingkungan dan lahan lakah.
Dampak
lain, Usman dan Ali atau warga setempat juga makin sulit mencari ikan
hias yang dulu sering mereka tangkap sambil menyelam. Kerusakan mangrove
membuat ikan menjauh ke tengah samudra sehingga kehidupan bernelayan
sangat terganggu. Cara hidup orang Bugis kini bergeser ke daratan.
Kalaupun masih ada yang bertahan sebagai nelayan, karena tidak punya
pilihan lain. “Jadi, walaupun ada pendatang, tapi rel-rel dasar mereka
tetap Bugis, tetap orang Jawa tetap orang Madura, dan kami juga tetap
Hindu. Tetapi menghadapi hal-hal yang negatif, kami tetap satu,” kata
Ida Cokorda.
Kendati
begitu, Ida Cokorda memastikan warga Pulau Serangan tidak akan
kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut.
“Walaupun air laut asin, tapi kami [ikan] tidak asin,” kata Ida Cokorda.
Mansyur juga memastikan kerukunan antar penganut agama berbeda di Pulau
Serangan termasuk nomor satu di seputar Bali. “Tidak pernah satu kali
pun dari dulu terjadi [keributan],” tegas Mansyur.(KEN/Tim Liputan
Potret)
Bugis Kalimantang Barat
Masuknya Etnis Bugis di Kalimantan Barat
Masuknya
orang Bugis di Kalimantan Barat bermula dari kedatangan Daeng Mataku
yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari
Kerajaan Sukadana. Daeng Mataku ini pernah membantu menyerang Istana
Sultan Zainuddin; pada tahun 1710 atas suruhan Pangeran Agung, saudara
kandung Zainuddin. Karena jasanya itu, Daeng Mataku diangkat menjadi
panglima. Keturunan Daeng Mataku kini tersebar di daerah Sukadana dan
sekitarnya.
Atas
permintaan Sultan Zainuddin untuk mengatasi perang saudara di
kerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Manambon asal Luwuk bersama
saudara-saudaranya, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak
dan Upu Daeng Kemasi. Mereka berhasil memenangi perang tersebut. Upu
Daeng Manambon kemudian digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi
Puteri Kesumba, anak Sultan Zainuddin dengan Utin Indrawati dari
Kerajaan Mempawah. Daeng Menambon kemudian menggantikan Panembahan
Senggauk sebagai raja di Mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng
Menambon ke Mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan upacara
robo’-robo’.
Dalam
perkembangannya, orang Bugis kini tersebar di seluruh wilayah
Kalimantan Barat dan membaur dengan etnis lain yang ada, terutama
Melayu. Di Ketapang mereka menetap di Sungai Puteri, Satong, Siduk,
Semanai, Melinsum, Sukadana, Rantau Panjang dan Teluk Batang. Di
Pontianak terdapat di Segedong, Teluk Pakedai, Batu Ampar, Sungai Kakap
dan beberapa kawasan di kota Pontianak.
Di
kota Pontianak ada dua kampung Bugis, yakni Bugis Dalam dan Bugis Luar.
Keduanya terletak di kawasan Tanjung Hilir, bersebelahan dengan Kampung
Arab dan Keraton Kadariyah. Kampung Bugis tersebut sudah ada sejak
zaman kesultanan Pontianak, didirikan seorang Bugis kerabat keraton
Pontianak, Syarif Acmad yang mempersunting Daeng Madiana, seorang gadis
Bugis dari daerah Donggala. Saat ini Kampung Bugis tidak lagi hanya
dihuni oleh orang Bugis, tetapi juga penduduk dari suku lain, seperti
Melayu, Cina, Madura, Sunda, Jawa dan Dayak.
Orang
Bugis terkenal pekerja keras dan ulet, serta masih memegang teguh adat
dan tradisi mereka. Di Segedong misalnya, mereka masih melaksanakan
upacara adat ritual kelahiran, kematian dan adat lainnya.
Wali Pitue Di Sul-Sel
Budaya Islam : Wali Pitue
Yang mungkin teman-teman sering mendengar Wali Songo.
dan mungkin juga wali songo ini sudah tidak asing lagi ditelinga umat
Islam yang berada di indonesia. yah siapa sangka di daerah Selawasi
selatan khususnya di bugis kami juga mengenal dan Mempercayai Wali Yang
berasal dari Timur yakni Wali Pitue atau Wali Tujuh.
tapi
hingga saat ini saya menilai dari sudut pandang saya pribadi bahwa
banyaknya orang-orang atau masyarakat sekitar yang menyalah gunakan arti
ini. yah seperti Menyembah Mereka untuk mendapatkan sesuatu dan tidak
menyembah sang Pencipta. Saya merasakannya di Daerah Polmas Desa Lapeo.
lebih tepatnya Rumah Imam Lapeo yang merupakan salah satu dari wali
pitue ini. dengan sesajen, sokko (Ketan yang sudah di makassar),
Buras Dan sebagainya meminta kepanjangan umur, meminta dilimpahkan
rejeki dan ini membuat perbuatan-perbuatan tersebut dengan akal jernih
saya pribadi. walaupun mereka hanya dijadikan perantara toh secara
logika sama aja mereka menyembah mereka.
Yah Itulah keaneka ragaman kepercayaan manusia.
Syeikh Yusuf
Syeikh Yusuf Makasar pembela dan penjunjung kebenaran
ADA
orang marah apabila sesuatu hasil karyanya dipersalahkan. Sangat jarang
seseorang itu gembira jika sesuatu kesilapannya ditegur oleh orang
lain. Mudah-mudahan saya termasuk orang yang berterima kasih dan
berlapang dada jika sesuatu karya saya yang tersilap dibetulkan orang.
Walau bagaimanapun, sekiranya orang yang menyalahkan karya saya ternyata
salah, maka pasti saya akan membantah berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Artikel
ini adalah jawapan saya terhadap tulisan pensyarah Kolej Dar Al-Hikmah
Kajang, Mohd. Nasir Mohd. Tap. Kertas kerjanya ada menyalahkan tulisan
saya. Ia dibentangkan dalam Forum Pengkaji Pemikiran dan Tamadun, Siri
Ke-10 pada 27 April 2006 di Bilik Syura, Kolej Dar Al-Hikmah, Kajang.
Judul kertas kerja selengkapnya ialah ‘Rekonstruksi Tasawwuf: Kajian
Analitis-Historis Reformasi Tasawuf Imam Ahmad Al-Sirhindi dan
Pengaruhnya di Nusantara’.
Beberapa
kalimat Mohd. Nasir yang menyentuh tentang saya dalam kertas kerjanya
perlu saya tanggapi. Saya mulai dengan katanya, “Menurut pemerhatian
saya, salasilah yang tersebut di atas mengandungi kontradiksi.” Katanya,
ini dilihat dari beberapa sudut:
1.
Di dalam buku beliau, Ustaz Wan Mohd. Shaghir menyatakan tarikh
kelahiran dan kewafatan al-Syeikh Yusuf al-Maqassari adalah 8 Syawal/3
Julai 1626 M, 1110 H/23 Mei 1699 M, manakala Syeikh Baqi Billah
al-Lahori wafat pada 1012 H/1603 M. Ini bererti kedua-duanya tidak
pernah bertemu kerana al-Maqassari lahir kira-kira 23 tahun selepas
kewafatan Syeikh Baqi Billah wafat pada 1012 H/1603 M (hlm. 14).
Perkara
ini dapat saya tangkis, tetapi sebelum saya menyentuh langsung
tentangnya perlu saya sebutkan bahawa hal yang sama pernah berlaku dalam
salasilah Tarekat Naqsyabandiyah pada nama dalam salasilah yang lebih
ke atas. Dikatakan Syeikh Abu al-Hasan al-Kharqani terputus salasilah
dengan Syeikh Abu Yazid al-Bisthami. Demikian halnya Syeikh Abu Yazid
al-Bisthami terputus salasilah dengan Imam Jaafar ash-Shadiq. Perdebatan
yang panjang wujud di Indonesia. Golongan Tarekat Naqsyabandiyah hanya
mengatakan menerima ilmu secara ‘rohaniah’, kerana yang demikianlah yang
terdapat pada salasilah. Persoalan tersebut telah saya jawab dalam buku
Syeikh Ismail Al-Minangkabawi Penyiar Tarekat Khalidiyah (Mac 1985,
hlm. 24-28). Hujah-hujah saya yang menjelaskan bahawa salasilah Tarekat
Naqsyabandiyah tidak terputus-putus telah dimanfaatkan oleh ramai
penulis termasuk beberapa orang dari luar dunia Melayu.
Tentang
isu yang diperkatakan oleh Mohd. Nasir, saya jawab seperti berikut.
Ketentuan tahun lahir seseorang ataupun tahun wafatnya adalah tidak
bersifat pasti atau mutlak. Oleh itu, sangat banyak dalam sejarah
terjadi catatan yang berbeza. Sebagai contoh, ada riwayat bahawa sahabat
Nabi Muhammad s.a.w. yang paling panjang umurnya ialah Salman al-Farsi.
Ada orang meriwayatkan umurnya 250 tahun dan pihak lain ada yang
meriwayatkan 350 tahun. Dengan demikian tentu tahun lahir atau tahun
wafat akan berganjak dan berbeza pula. Penentuan umur tersebut pula
bukan jarak dekat tetapi sampai 100 tahun. Contoh yang lain, Syeikh
Rahmatullah bin Khalilur Rahman al-Hindi al-Utsmani. Ada yang menyebut
beliau lahir tahun 1226 H/1811 M. Riwayat lain menyebut beliau lahir
tahun 1233 H/1818 M. Ini bererti selisih sekitar tujuh tahun. Pembuktian
bahawa Syeikh Yusuf Taj al-Mankatsi (Makasar) murid Syeikh Baqi Billah
al-Lahori adalah cukup jelas seperti tersebut pada manuskrip yang akan
dibicarakan pada bahagian lain dalam artikel ini. Oleh sebab dalam
manuskrip dinyatakan bahawa Syeikh Yusuf pasti berjumpa Syeikh Baqi
Billah al-Lahori maka bererti tahun kelahiran Syeikh Yusuf Taj
al-Mankatsi yang telah ditulis orang selama ini ialah 8 Syawal 1036 H/3
Julai 1626 M, dan tahun kewafatan Syeikh Baqi Billah al-Lahori ialah
pada 1012 H/1603 M adalah mengelirukan.
Kekeliruan
catatan yang melibatkan selang waktu 23 tahun iaitu setelah Syeikh Baqi
Billah al-Lahori wafat baru Syeikh Yusuf Taj al-Mankatsi lahir masih
sukar dibuktikan tetapi sekurang-kurangnya unsur-unsur keliru dapat
dibuktikan.
Hampir
semua penulis sebelum ini, termasuk saya sendiri, menyebut bahawa
Syeikh Yusuf lahir pada 8 Syawal 1036 H bersamaan dengan 3 Julai 1626.
Saya memetik tarikh itu daripada buku Buya Hamka judul Dari
Perbendaharaan Lama (1963, hlm. 39). Abu Hamid dalam Syeikh Yusuf
Seorang Ulama Sufi dan Pejuang (1994, hlm. 79-80), menulis, “Lontarak
Riwayakna Tuanta Samalaka ri Gowa yang paling umum dimiliki oleh orang
Makasar dan Bugis tidak menyebutkan tahun kelahiran Yusuf. Andaikata
Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallo tidak menyebutkan kalimat secara
ragu-ragu, Ia anne bedeng taunga nakaanakkang I Tuang Syekh Yusuf 3 Juli
1626, 8 Syawal 1036 (konon khabarnya dalam tahun ini dilahirkan Tuan
Syeikh Yusuf) maka kita tidak mempunyai sumber yang relatif bisa
dipercayai.”
Yang
disebut oleh Abu Hamid itu ada persamaan dengan kenyataan Nabilah Lubis
dalam Syeikh Yusuf Al-Taj Al-Makasari (1996, hlm. 18-20). Katanya,
“Yusuf lahir pada 1626, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Tanggal
tersebut terdapat dalam Kronik Goa dan Tallo (Ligtvoet 1880), namun
Cense menyatakan bahawa tanggal itu baru ditambahkan kemudian setelah
Yusuf terkenal. Mulanya yang disebut dalam Kronik Makasar hanyalah
bahawa ibunda Yusuf meninggal dunia pada 13 Disember 1666.”
*Catatan
Penyelidikan
saya yang terkini mendapati bahawa penyamaan tarikh lahir 8 Syawal 1036
H bersamaan 3 Julai 1626 M kemungkinan adalah tersilap. Tarikh 8 Syawal
1036 H adalah bersamaan 23 Jun 1627 M bukannya 3 Julai 1626 M. Jika
kita gunakan tahun Masihi, tarikh 3 Julai 1626 adalah bersamaan 8 Syawal
1035 H, bukannya tahun 1036 H. Jadi ringkasnya, jika kita gunakan
catatan tahun Hijrah bererti Syeikh Yusuf lahir tahun 1036 H/1627 M.
Jika kita dahulukan catatan tahun Masihi, bererti Syeikh Yusuf lahir
1626 M/1035 H. Dari sini dapat dibuktikan bahawa yang telah ditulis
selisih selama setahun. Apa yang betul secara pasti tahun kelahiran
Syeikh Yusuf terdapat dua perbandingan tahun 1036 H = 1627 M dengan
tahun 1626 M = 1035 H. Saya berpendapat, oleh sebab masyarakat Islam
zaman itu menggunakan tahun Hijrah maka catatan yang betul adalah 8
Syawal 1036 H/23 Jun 1627. Catatan tahun wafat Muhammad Baqi Billah
al-Lahori juga ada dua. Ada orang yang menyebut tahun 1012 H/1603 M, ada
pula yang menyebut tahun 1013 H/1604 M).
Rasanya
saya masih berkemampuan mengemukakan hujah-hujah ilmiah untuk meniti
kebenaran dan pembelaan atas tulisan-tulisan saya supaya dapat
dipelajari oleh pihak-pihak yang memerlukannya. Mohd Nasir menulis dalam
kertas kerjanya hlm. 15, “… dan juga kesilapan mengidentifikasikan
antara dua individu yang berlainan (antara Syeikh Abdul Baqi al-Mizjaji
dengan Muhammad Abdul Baqi / Baqi Billah al-Lahori) telah membawa
pengertian yang salah bagi pihak ustaz Wan Mohd. Shaghir sehingga beliau
mengatakan ketika menerangkan Tarekat Naqsyabandiyyah yang dibawa oleh
Syeikh Ismail al-Minankabawi bahawa Syeikh Muhammad Baqi Billah
al-Lahori adalah guru kepada Syeikh Yusuf al-Mankatsi (al-Maqassari) Taj
al-Khalwati.”
Kenyataan
Syeikh Muhammad Baqi Billah al-Lahori adalah guru kepada Syeikh Yusuf
al-Mankatsi bukanlah merupakan pendapat saya, tetapi adalah berdasarkan
beberapa manuskrip yang tersebut di bawah ini.
Rujukan
yang pertama ialah manuskrip Kitab Ar-Risalah an-Naqsyabandiyah Yusuf
li al-Qadhi Bilad Buni (maksudnya: Bone, Sulawesi Selatan, pen:),
koleksi saya sendiri, ditulis dalam bahasa Arab. Terdapat salasilah
lengkap Tarekat Naqsyabandiyah, disebut nama gurunya Mahdi az-Zaman
al-Khuji Muhammad al-Baqi al-Lahuri (Lahore, India, pen:). Diperkukuhkan
lagi dalam manuskrip Zubdah al-Asrar fi Tahqiq Ba’dhi Masyarib
al-Akhyar, juga koleksi peribadi saya sendiri, beliau tulis nama
selengkapnya Syaikhuna (maksudnya guruku, pen:) al-Imam Muqtadha al-Anam
al-Wali al-Arif Billahi Taala Maulana asy-Syeikh Muhammad Baqi
an-Naqsyabandi al-Yamani. Diperkukuhkan lagi dalam manuskrip Zubdah
al-Asrar, manuskrip Universiti Leiden Or. 7025 disebut oleh Nabilah
Lubis dalam buku Syeikh Yusuf, Al-Taj Al-Makasari hlm. 132 pada catatan
nota hujung nombor 55, menggunakan nama Maulana asy-Syeikh Muhammad
al-Baqi Billah.
Ia
juga menggunakan nama yang sama iaitu Maulana asy-Syeikh Muhammad Baqi
an-Naqsyabandi al-Yamani, hlm. 114 teks Arab dan hlm. 115 teks bahasa
Indonesia. Dalam Zubdah al-Asrar, manuskrip dalam bahasa Jawa, Naskhah
Jakarta A 45, nama yang disebut juga sama iaitu Syeikh Muhammad Baqi
Naqisybandi Tariqatane, Yamani Desane.
Hamka
dalam Dari Perbendaharaan Lama menggunakan nama Abi Abdillah Muhammad
Abdul Baqi (hlm. 40). Terkini, baru-baru ini (April 2006), Syamsul Bahri
Andi Galigo dalam kertas kerjanya juga menggunakan nama Syeikh Abu
Abdillah Muhammad Abdul Baqiy (Prosiding Nadwah Ulama Nusantara III,
hlm. 641). Tidak satu nama pun daripada rujukan-rujukan di atas menyebut
nama Syeikh Abdul Baqi al-Mizjaji (hlm. 15) ataupun Muhammad bin
Muhammad al-Mizjaji al-Yamani (hlm. 16) seperti yang disebut oleh Mohd.
Nasir.
Walau
bagaimanapun, saya tidak menafikan memang ada karya Syeikh Yusuf selain
yang disebut itu memakai ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) pada hujung nama,
selengkapnya seperti Syeikh Abu Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syeikh
al-Kabir al-Mazjaji (al-Mizjaji) al-Yamani az-Zaidi an-Naqsyabandi.
Nama
ini beliau sebut dalam karyanya judul Sainah an-Najah, juga disebut
oleh Prof. Dr. Tudjimah dalam buku Syeikh Yusuf Makasar, Riwayat dan
Ajarannya (hlm. 16 dan 202). Bagi saya, masih dalam ‘kemungkinan’ ada
dua nama yang serupa atau hampir serupa dalam satu zaman, yang seorang
terdapat pada hujung namanya ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) dan yang seorang
lagi tidak. Saya anggap yang terdapat ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) pada
hujung nama masih sangat lemah kerana sepanjang penelitian saya tidak
seorang pun penulis yang menyebut tahun lahir ataupun tahun wafatnya.
Mohd.
Nasir dalam kertas kerjanya juga tidak menyebut tahun lahir ataupun
tahun wafat ‘al-Mazjaji’ yang dikemukakannya sebagai guru Syeikh Yusuf
Taj al-Khalwati. Perkara itu serupa dengan nama sehingga meragukan dan
timbul pertanyaan apakah hanya seorang tokoh atau dua orang, atau lebih,
bukan berlaku terhadap ulama yang diriwayatkan di atas saja, tetapi
juga terjadi pada ulama-ulama lain. Sebagai contoh Syeikh Abdur Rauf
al-Fansuri ataupun Syeikh Abdur Rauf Singkel.
Apakah
hanya seorang Syeikh Abdur Rauf atau dua orang? Perkara ini termasuk
dalam polemik antara Prof. Dr. Hamka dengan Ir. Mangaradja Onggang
Parlindungan. Sangat panjang bicaranya dalam buku Buya Hamka berjudul
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao terbitan Bulan Bintang, Jakarta,
1971.
Ada
pun nama yang disebut dalam salasilah Syeikh Ismail al-Minankabawi
dalam konteks yang dipersoalkan ialah asy-Syeikh al-Imam Muhammad Baqi
Billah yang dapat dirujuk selengkapnya dalam ar-Rahmah al-Habitha fi
Zikr Ism az-Zat wa ar-Rabithah (Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1425
H/2004 M, hlm. 83). Masih banyak perkara dalam kertas kerja Mohd. Nasir
perlu saya bahas tetapi kerana kekurangan ruangan terpaksa saya
tinggalkan saja, dan akan saya bahas lebih lengkap dalam buku tentang
Syeikh Yusuf.
Budaya Islam : Wali Pitue
Yang mungkin teman-teman sering mendengar Wali Songo.
dan mungkin juga wali songo ini sudah tidak asing lagi ditelinga umat
Islam yang berada di indonesia. yah siapa sangka di daerah Selawasi
selatan khususnya di bugis kami juga mengenal dan Mempercayai Wali Yang
berasal dari Timur yakni Wali Pitue atau Wali Tujuh.
tapi
hingga saat ini saya menilai dari sudut pandang saya pribadi bahwa
banyaknya orang-orang atau masyarakat sekitar yang menyalah gunakan arti
ini. yah seperti Menyembah Mereka untuk mendapatkan sesuatu dan tidak
menyembah sang Pencipta. Saya merasakannya di Daerah Polmas Desa Lapeo.
lebih tepatnya Rumah Imam Lapeo yang merupakan salah satu dari wali
pitue ini. dengan sesajen, sokko (Ketan yang sudah di makassar),
Buras Dan sebagainya meminta kepanjangan umur, meminta dilimpahkan
rejeki dan ini membuat perbuatan-perbuatan tersebut dengan akal jernih
saya pribadi. walaupun mereka hanya dijadikan perantara toh secara
logika sama aja mereka menyembah mereka.
Yah Itulah keaneka ragaman kepercayaan manusia.
Yah Itulah keaneka ragaman kepercayaan manusia.
Syeikh Yusuf Makasar pembela dan penjunjung kebenaran
ADA
orang marah apabila sesuatu hasil karyanya dipersalahkan. Sangat jarang
seseorang itu gembira jika sesuatu kesilapannya ditegur oleh orang
lain. Mudah-mudahan saya termasuk orang yang berterima kasih dan
berlapang dada jika sesuatu karya saya yang tersilap dibetulkan orang.
Walau bagaimanapun, sekiranya orang yang menyalahkan karya saya ternyata
salah, maka pasti saya akan membantah berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Artikel
ini adalah jawapan saya terhadap tulisan pensyarah Kolej Dar Al-Hikmah
Kajang, Mohd. Nasir Mohd. Tap. Kertas kerjanya ada menyalahkan tulisan
saya. Ia dibentangkan dalam Forum Pengkaji Pemikiran dan Tamadun, Siri
Ke-10 pada 27 April 2006 di Bilik Syura, Kolej Dar Al-Hikmah, Kajang.
Judul kertas kerja selengkapnya ialah ‘Rekonstruksi Tasawwuf: Kajian
Analitis-Historis Reformasi Tasawuf Imam Ahmad Al-Sirhindi dan
Pengaruhnya di Nusantara’.
Beberapa
kalimat Mohd. Nasir yang menyentuh tentang saya dalam kertas kerjanya
perlu saya tanggapi. Saya mulai dengan katanya, “Menurut pemerhatian
saya, salasilah yang tersebut di atas mengandungi kontradiksi.” Katanya,
ini dilihat dari beberapa sudut:
1.
Di dalam buku beliau, Ustaz Wan Mohd. Shaghir menyatakan tarikh
kelahiran dan kewafatan al-Syeikh Yusuf al-Maqassari adalah 8 Syawal/3
Julai 1626 M, 1110 H/23 Mei 1699 M, manakala Syeikh Baqi Billah
al-Lahori wafat pada 1012 H/1603 M. Ini bererti kedua-duanya tidak
pernah bertemu kerana al-Maqassari lahir kira-kira 23 tahun selepas
kewafatan Syeikh Baqi Billah wafat pada 1012 H/1603 M (hlm. 14).
Perkara
ini dapat saya tangkis, tetapi sebelum saya menyentuh langsung
tentangnya perlu saya sebutkan bahawa hal yang sama pernah berlaku dalam
salasilah Tarekat Naqsyabandiyah pada nama dalam salasilah yang lebih
ke atas. Dikatakan Syeikh Abu al-Hasan al-Kharqani terputus salasilah
dengan Syeikh Abu Yazid al-Bisthami. Demikian halnya Syeikh Abu Yazid
al-Bisthami terputus salasilah dengan Imam Jaafar ash-Shadiq. Perdebatan
yang panjang wujud di Indonesia. Golongan Tarekat Naqsyabandiyah hanya
mengatakan menerima ilmu secara ‘rohaniah’, kerana yang demikianlah yang
terdapat pada salasilah. Persoalan tersebut telah saya jawab dalam buku
Syeikh Ismail Al-Minangkabawi Penyiar Tarekat Khalidiyah (Mac 1985,
hlm. 24-28). Hujah-hujah saya yang menjelaskan bahawa salasilah Tarekat
Naqsyabandiyah tidak terputus-putus telah dimanfaatkan oleh ramai
penulis termasuk beberapa orang dari luar dunia Melayu.
Tentang
isu yang diperkatakan oleh Mohd. Nasir, saya jawab seperti berikut.
Ketentuan tahun lahir seseorang ataupun tahun wafatnya adalah tidak
bersifat pasti atau mutlak. Oleh itu, sangat banyak dalam sejarah
terjadi catatan yang berbeza. Sebagai contoh, ada riwayat bahawa sahabat
Nabi Muhammad s.a.w. yang paling panjang umurnya ialah Salman al-Farsi.
Ada orang meriwayatkan umurnya 250 tahun dan pihak lain ada yang
meriwayatkan 350 tahun. Dengan demikian tentu tahun lahir atau tahun
wafat akan berganjak dan berbeza pula. Penentuan umur tersebut pula
bukan jarak dekat tetapi sampai 100 tahun. Contoh yang lain, Syeikh
Rahmatullah bin Khalilur Rahman al-Hindi al-Utsmani. Ada yang menyebut
beliau lahir tahun 1226 H/1811 M. Riwayat lain menyebut beliau lahir
tahun 1233 H/1818 M. Ini bererti selisih sekitar tujuh tahun. Pembuktian
bahawa Syeikh Yusuf Taj al-Mankatsi (Makasar) murid Syeikh Baqi Billah
al-Lahori adalah cukup jelas seperti tersebut pada manuskrip yang akan
dibicarakan pada bahagian lain dalam artikel ini. Oleh sebab dalam
manuskrip dinyatakan bahawa Syeikh Yusuf pasti berjumpa Syeikh Baqi
Billah al-Lahori maka bererti tahun kelahiran Syeikh Yusuf Taj
al-Mankatsi yang telah ditulis orang selama ini ialah 8 Syawal 1036 H/3
Julai 1626 M, dan tahun kewafatan Syeikh Baqi Billah al-Lahori ialah
pada 1012 H/1603 M adalah mengelirukan.
Kekeliruan
catatan yang melibatkan selang waktu 23 tahun iaitu setelah Syeikh Baqi
Billah al-Lahori wafat baru Syeikh Yusuf Taj al-Mankatsi lahir masih
sukar dibuktikan tetapi sekurang-kurangnya unsur-unsur keliru dapat
dibuktikan.
Hampir
semua penulis sebelum ini, termasuk saya sendiri, menyebut bahawa
Syeikh Yusuf lahir pada 8 Syawal 1036 H bersamaan dengan 3 Julai 1626.
Saya memetik tarikh itu daripada buku Buya Hamka judul Dari
Perbendaharaan Lama (1963, hlm. 39). Abu Hamid dalam Syeikh Yusuf
Seorang Ulama Sufi dan Pejuang (1994, hlm. 79-80), menulis, “Lontarak
Riwayakna Tuanta Samalaka ri Gowa yang paling umum dimiliki oleh orang
Makasar dan Bugis tidak menyebutkan tahun kelahiran Yusuf. Andaikata
Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallo tidak menyebutkan kalimat secara
ragu-ragu, Ia anne bedeng taunga nakaanakkang I Tuang Syekh Yusuf 3 Juli
1626, 8 Syawal 1036 (konon khabarnya dalam tahun ini dilahirkan Tuan
Syeikh Yusuf) maka kita tidak mempunyai sumber yang relatif bisa
dipercayai.”
Yang
disebut oleh Abu Hamid itu ada persamaan dengan kenyataan Nabilah Lubis
dalam Syeikh Yusuf Al-Taj Al-Makasari (1996, hlm. 18-20). Katanya,
“Yusuf lahir pada 1626, bertepatan dengan 8 Syawal 1036 H. Tanggal
tersebut terdapat dalam Kronik Goa dan Tallo (Ligtvoet 1880), namun
Cense menyatakan bahawa tanggal itu baru ditambahkan kemudian setelah
Yusuf terkenal. Mulanya yang disebut dalam Kronik Makasar hanyalah
bahawa ibunda Yusuf meninggal dunia pada 13 Disember 1666.”
*Catatan
Penyelidikan
saya yang terkini mendapati bahawa penyamaan tarikh lahir 8 Syawal 1036
H bersamaan 3 Julai 1626 M kemungkinan adalah tersilap. Tarikh 8 Syawal
1036 H adalah bersamaan 23 Jun 1627 M bukannya 3 Julai 1626 M. Jika
kita gunakan tahun Masihi, tarikh 3 Julai 1626 adalah bersamaan 8 Syawal
1035 H, bukannya tahun 1036 H. Jadi ringkasnya, jika kita gunakan
catatan tahun Hijrah bererti Syeikh Yusuf lahir tahun 1036 H/1627 M.
Jika kita dahulukan catatan tahun Masihi, bererti Syeikh Yusuf lahir
1626 M/1035 H. Dari sini dapat dibuktikan bahawa yang telah ditulis
selisih selama setahun. Apa yang betul secara pasti tahun kelahiran
Syeikh Yusuf terdapat dua perbandingan tahun 1036 H = 1627 M dengan
tahun 1626 M = 1035 H. Saya berpendapat, oleh sebab masyarakat Islam
zaman itu menggunakan tahun Hijrah maka catatan yang betul adalah 8
Syawal 1036 H/23 Jun 1627. Catatan tahun wafat Muhammad Baqi Billah
al-Lahori juga ada dua. Ada orang yang menyebut tahun 1012 H/1603 M, ada
pula yang menyebut tahun 1013 H/1604 M).
Rasanya
saya masih berkemampuan mengemukakan hujah-hujah ilmiah untuk meniti
kebenaran dan pembelaan atas tulisan-tulisan saya supaya dapat
dipelajari oleh pihak-pihak yang memerlukannya. Mohd Nasir menulis dalam
kertas kerjanya hlm. 15, “… dan juga kesilapan mengidentifikasikan
antara dua individu yang berlainan (antara Syeikh Abdul Baqi al-Mizjaji
dengan Muhammad Abdul Baqi / Baqi Billah al-Lahori) telah membawa
pengertian yang salah bagi pihak ustaz Wan Mohd. Shaghir sehingga beliau
mengatakan ketika menerangkan Tarekat Naqsyabandiyyah yang dibawa oleh
Syeikh Ismail al-Minankabawi bahawa Syeikh Muhammad Baqi Billah
al-Lahori adalah guru kepada Syeikh Yusuf al-Mankatsi (al-Maqassari) Taj
al-Khalwati.”
Kenyataan
Syeikh Muhammad Baqi Billah al-Lahori adalah guru kepada Syeikh Yusuf
al-Mankatsi bukanlah merupakan pendapat saya, tetapi adalah berdasarkan
beberapa manuskrip yang tersebut di bawah ini.
Rujukan
yang pertama ialah manuskrip Kitab Ar-Risalah an-Naqsyabandiyah Yusuf
li al-Qadhi Bilad Buni (maksudnya: Bone, Sulawesi Selatan, pen:),
koleksi saya sendiri, ditulis dalam bahasa Arab. Terdapat salasilah
lengkap Tarekat Naqsyabandiyah, disebut nama gurunya Mahdi az-Zaman
al-Khuji Muhammad al-Baqi al-Lahuri (Lahore, India, pen:). Diperkukuhkan
lagi dalam manuskrip Zubdah al-Asrar fi Tahqiq Ba’dhi Masyarib
al-Akhyar, juga koleksi peribadi saya sendiri, beliau tulis nama
selengkapnya Syaikhuna (maksudnya guruku, pen:) al-Imam Muqtadha al-Anam
al-Wali al-Arif Billahi Taala Maulana asy-Syeikh Muhammad Baqi
an-Naqsyabandi al-Yamani. Diperkukuhkan lagi dalam manuskrip Zubdah
al-Asrar, manuskrip Universiti Leiden Or. 7025 disebut oleh Nabilah
Lubis dalam buku Syeikh Yusuf, Al-Taj Al-Makasari hlm. 132 pada catatan
nota hujung nombor 55, menggunakan nama Maulana asy-Syeikh Muhammad
al-Baqi Billah.
Ia
juga menggunakan nama yang sama iaitu Maulana asy-Syeikh Muhammad Baqi
an-Naqsyabandi al-Yamani, hlm. 114 teks Arab dan hlm. 115 teks bahasa
Indonesia. Dalam Zubdah al-Asrar, manuskrip dalam bahasa Jawa, Naskhah
Jakarta A 45, nama yang disebut juga sama iaitu Syeikh Muhammad Baqi
Naqisybandi Tariqatane, Yamani Desane.
Hamka
dalam Dari Perbendaharaan Lama menggunakan nama Abi Abdillah Muhammad
Abdul Baqi (hlm. 40). Terkini, baru-baru ini (April 2006), Syamsul Bahri
Andi Galigo dalam kertas kerjanya juga menggunakan nama Syeikh Abu
Abdillah Muhammad Abdul Baqiy (Prosiding Nadwah Ulama Nusantara III,
hlm. 641). Tidak satu nama pun daripada rujukan-rujukan di atas menyebut
nama Syeikh Abdul Baqi al-Mizjaji (hlm. 15) ataupun Muhammad bin
Muhammad al-Mizjaji al-Yamani (hlm. 16) seperti yang disebut oleh Mohd.
Nasir.
Walau
bagaimanapun, saya tidak menafikan memang ada karya Syeikh Yusuf selain
yang disebut itu memakai ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) pada hujung nama,
selengkapnya seperti Syeikh Abu Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syeikh
al-Kabir al-Mazjaji (al-Mizjaji) al-Yamani az-Zaidi an-Naqsyabandi.
Nama
ini beliau sebut dalam karyanya judul Sainah an-Najah, juga disebut
oleh Prof. Dr. Tudjimah dalam buku Syeikh Yusuf Makasar, Riwayat dan
Ajarannya (hlm. 16 dan 202). Bagi saya, masih dalam ‘kemungkinan’ ada
dua nama yang serupa atau hampir serupa dalam satu zaman, yang seorang
terdapat pada hujung namanya ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) dan yang seorang
lagi tidak. Saya anggap yang terdapat ‘al-Mazjaji’ (al-Mizjaji) pada
hujung nama masih sangat lemah kerana sepanjang penelitian saya tidak
seorang pun penulis yang menyebut tahun lahir ataupun tahun wafatnya.
Mohd.
Nasir dalam kertas kerjanya juga tidak menyebut tahun lahir ataupun
tahun wafat ‘al-Mazjaji’ yang dikemukakannya sebagai guru Syeikh Yusuf
Taj al-Khalwati. Perkara itu serupa dengan nama sehingga meragukan dan
timbul pertanyaan apakah hanya seorang tokoh atau dua orang, atau lebih,
bukan berlaku terhadap ulama yang diriwayatkan di atas saja, tetapi
juga terjadi pada ulama-ulama lain. Sebagai contoh Syeikh Abdur Rauf
al-Fansuri ataupun Syeikh Abdur Rauf Singkel.
Apakah
hanya seorang Syeikh Abdur Rauf atau dua orang? Perkara ini termasuk
dalam polemik antara Prof. Dr. Hamka dengan Ir. Mangaradja Onggang
Parlindungan. Sangat panjang bicaranya dalam buku Buya Hamka berjudul
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao terbitan Bulan Bintang, Jakarta,
1971.
Ada
pun nama yang disebut dalam salasilah Syeikh Ismail al-Minankabawi
dalam konteks yang dipersoalkan ialah asy-Syeikh al-Imam Muhammad Baqi
Billah yang dapat dirujuk selengkapnya dalam ar-Rahmah al-Habitha fi
Zikr Ism az-Zat wa ar-Rabithah (Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, 1425
H/2004 M, hlm. 83). Masih banyak perkara dalam kertas kerja Mohd. Nasir
perlu saya bahas tetapi kerana kekurangan ruangan terpaksa saya
tinggalkan saja, dan akan saya bahas lebih lengkap dalam buku tentang
Syeikh Yusuf.
Petta Lasinrang
PETTA LOLO LASINRANG
Sekitar
tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi
suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian
dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang
Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak
kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I
Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La
Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh
dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
Dalam
perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan
pendidikan daripamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai
pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan.
Sehingga, La Sinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan
jujur. Hal ini merupakan suatu cirri bahwa putra Addatuang sawitto ini,
adalah seorang calon pemimpin yang baik.
Diwaktu
kecil La Sinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis
mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya
yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “ Massaung “. Menyabung
ayam. Dari kegemaran ini, La Sinrang selalu menggunakan “ Manu “ bakka “
(ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah padabagian
dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang
Kegemaran
menyabung ayam dengan “ manu bakka “ tersiar keluar daerah, sehingga La
Sinrang dikenal dengan julukan “ Bakka Lolona Sawitto “ juga dapat
diartikan “ Pemuda berani dari Sawitto . Julukan ini semakin popular
disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.
Juga
kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge”
yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana
(Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin
tertarik dengan Permian tersebut.
La
sinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia
memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya
Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong ( La Tanrisampe) juga
merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.
La
Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani,
terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang
kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai
dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro darihasil perkawinan
dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba
di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E,
Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk
berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa
kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam
waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian,
kewibaan, maupun kepemimpinannya
La
Sinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke
Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh
salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.
Selama
di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo
yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti
diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “ La Salaga ‘ sedang kerisnya diberi nama “ JalloE”
RAJA BONE 15
La Tenri Tatta Arung Palakka (1667–1696)
Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Suiadalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah
yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga
dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan.
Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La
Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga
dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika
La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan
La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La
Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta
beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam
peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe
adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa
untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan
Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya
di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa.
La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru
diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa
dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena
La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu
diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta
biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu
(pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam
perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan,
termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru
memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La
Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari
tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrunginilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah
tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang
yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk
membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika
orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan
sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi
oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai
pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu
makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus
dibawa sendiri dari Bone.
Adapun
La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak
bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang
Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru
menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat
benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh
mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu
ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka
diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti
perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan
tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La
Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan
tombaknya.
Sesampainya
KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah
orang banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk
menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja
parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya
dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan
dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai
meninggal dunia.
La
Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan
penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle
tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan
menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh
banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya
pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki
ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia
setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak
kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi
tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi
jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya
di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu
Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya
sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah
membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang
Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng
inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang.
Kepada
pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai
dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa
diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan
ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak
berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar
lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah
pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama
pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa
ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya
mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak,
melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan
Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala
Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya
Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang
bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan
Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone.
Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala, sementara
Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng
bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena
merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To
Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk
tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo
dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo
bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa.
Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta
To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung
Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa
saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun
datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama
pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada
KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh
pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya
ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada
Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya
di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh
Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya.
Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata,
”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada
saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah
bernazar di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La
Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum
dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi.
Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE
Gemme’na.
KaraengE
ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka
bersama pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu
disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan
senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk
menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan
berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak
lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La
Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik
kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama
pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak berair
tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja
Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri
Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh
pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena
pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya
tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang
tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu,
maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE
ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru
dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk
menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja
bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo.
Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke
Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas
perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu
berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan
selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan
Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada
KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera
mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang
bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone
sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas
dari penjajahan Gowa.
Adapun
maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk
menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa
sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara
La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng
bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan, dikembalikan pula ke
Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa
sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan
Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal
Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung
Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La
Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh
informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja
dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata
kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta
memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu
sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng
Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya.
Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya
La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan
kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada
jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara.
Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan diutuslah beberapa orang naik
menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu
Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung
Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang
Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk
berbicara secara baik-baik.
Mendengar
apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan
Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada
baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai,
hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk
berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah
saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu
yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke
kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis
Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal
nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila
menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta
beberapa pengikutnya.
Datu
Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan
Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda.
Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau
oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai, barulah kembali
ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa
pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara
itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La
Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng
didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri
Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan
Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk
melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La
Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan
yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang
termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya
berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri
Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo,
Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan
orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah
Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan
demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung.
Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut,
sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat.
Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan,
kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena
merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan
korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21
November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya
itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya.
Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis
Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin
dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan
Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La
Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan
Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru
dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah
tidak ada baru diganti”.
Oleh
karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia
meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang
melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri
Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi
Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus
melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada
Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi
Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung
di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam
tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung
Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670
M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau
mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai
menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara
KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo
dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh
karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk
kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul
kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan
berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone,
Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo
kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam
peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To
Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan
demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan
senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan
itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama
tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu,
sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La
Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung
Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng.
Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke
Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam.
Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung
Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo
La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama
dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La
Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE
Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu adalah,
“Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada
saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada
pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan
nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka
setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya,
kemudian mangosong (bernyanyi),
”Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika
acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai,
La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor
kerbau dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam
dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas
pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa
dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain, Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Semua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat
gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa
melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang
tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya
itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).
Setelah
Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah
anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar
Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi
Arumpone menggantikan pamannya.
Agar dapat memperoleh keturumnan La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin denganTo Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat
bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta
To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga)
di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk
disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk
pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La
Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa
dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji)
dan juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta
tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh
Petta To RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingengTanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Adapun
kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng
Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang
satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang
masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng Talele”.
La
Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku
Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak
sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa
sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan
kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku?”
Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh
orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng
mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua
daun kayu – dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh
kesulitan dan kesenangan).
La
Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka
sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah
perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran
Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo,
semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri
Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong
yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah passeyajingeng(daerah sahabat).
Oleh
karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas
dukungan Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari
seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat
payung emas dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni
Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda
kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaEbelum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu
Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia
mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak
yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone,
Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M.
Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng,
Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang,
Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’
dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah,
”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinyaKaraeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah,
”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah -tenri pakkarung cera’E –tenri attolang rajengE (cera’
tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung).
Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone.
Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu
Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak
sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, sepertiTellumpoccoE,
LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu,
TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu,
”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala denganMatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewarisDatu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Makassar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar