Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu,
Kerajaan Wajo, Kerajaan Soppeng ada sebagian kerajaan-kerajaan besar yang
mempunyai warisan pusaka yang tak ternilai Harganya. dalam sebuah musium tua
disebuah sudut Makassar yakni Di Dalam Benteng
Rotherdam sebuah gedung yang sederhana dengan Title papan nama yang masih
terlihat kokoh yakni Musium Lagaligo. yang dimana menyimpan kekayaan-kekayaan
budaya masyarakat bugis makassar klasik. akan tetapi musium ini sangat lah sepi
akan pengunjung yang ingin mengetahui warisan budaya bugis makassar. Apa saja
yang ada didalam musium ?. Pusaka Kerajaan Gowa, Pusaka Kerjaan Bone, Pusaka
Kerajaan Luwu, Kitab Lontara, Kitab La Galigo, Perlengkapan Kerjaaan-kerajaan
di sulawesi selatan. Dan Masih banyak Lagi yang menyangkut kebudayaan klasik
bugis makassar. ingin melihatnya dengan Gambar
Sureq Galigo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari La Galigo)
Manuskrip Sureq Galigo dari abad ke-19
Sureq Galigo, atau Galigo, atau
disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos
penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13
dan ke-15
dalam bentuk puisi
bahasa
Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. [1]
Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan
selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga
berfungsi sebagai almanak
praktis sehari-hari. [1]
[2]
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang
sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada
kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini
yang paling awal diawetkan pada abad ke-18,
di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. [1]
Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun
bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau
300.000 baris teks,
membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. [3]
Latar belakang dan usaha pelestarian
Ada dugaan pula
bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata
dari India. Isinya
sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa
Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading,
seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena
isinya penuh dengan mitos
dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan
gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang
hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. [3]
Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya.
Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa
Inggris yang tersedia. [1]
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan
di Eropa, terutama
di Perpustakaan
Koninklijk
Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat
juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang
tersimpan di Eropa
dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara
luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo
oleh Robert Wilson, sutradara
asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara
internasional sejak tahun 2004.Isi hikayat La Galigo
Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika
dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi
Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah
keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib
dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge'
langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge'
langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri
Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di
bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang
wilaya Luwu
Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La
Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang
anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware')
dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak
dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia
tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia
mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali
lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan
termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia
menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima
(diduga Bima atau Sumbawa), Jawa
Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja
(kemungkinan Sunda
Timur dan Sunda
Barat) dan Melaka.
Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading
terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu
didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang
berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo,
juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan
mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang
berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah
menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta'
adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di
pesisir pantai Sulawesi.
Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal
ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan
pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya
terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana
terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu.
Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga.
Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti
golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau
sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading
digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama Sawerigading
I La
Galigo cukup terkenal di Sulawesi
Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh
kerajaan purba Bugis
yaitu Luwu'.
Sawerigading
dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri,
pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri,
yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil
membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang
Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau
iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula,
terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading.
Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading
bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading
kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta
pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak
Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara
dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh
dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk
mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan
semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah
tentang I
La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia
mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae
sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo
kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari
ayahnya, Sawerigading. Sesampainya
Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo,
karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading
dan I La
Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Butung (Butuni atau Buton) di gelar
Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga
kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah
bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading
sering ke Wolio
melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera
dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna
yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading
atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule
juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga
kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit.
Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama
yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya,
'Yang tinggal di surga'. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah
anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola
Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi
Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang
tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara
lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo:
Setia Bonga).
La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah
berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut
legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat
kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan
beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri
Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja
negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia
setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk
Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan
berkeris sementara
Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang.
Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk
mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya.
Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan
tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat
seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian
menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari
kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan
keturunan Bugis
dan Makasar di
Malaysia.
Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi
ke Malaysia.
Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15,
Melaka di bawah
pemerintahan Sultan Mansur Syah
diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar.
Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa,
putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan
beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15.
Pada tahun 1667, Belanda
memaksa pemerintah Goa
untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun
berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan
sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini
menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan
orang Bugis tiba
di Selangor
di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala
sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap
di Johor. Sekitar
1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La
Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin
bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan
penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang
keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor.
Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam
sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang
Dipertuan Riau,
Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan
juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Manambung
(menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah
dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19,
sebuah teks Melayu
yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di
dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat
al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan
tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di
dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi,
sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak
terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge'
kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
La Galigo dalam seni pentas
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni
pentas oleh sutradara
Robert Wilson setelah
diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini
telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia,
Eropa, Australia dan
Amerika
Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan,
para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari
dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang narator dalam versi bahasa Bugis
aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan
ekstensif efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson
dan disertai pula oleh musik oleh ansambel panggung. [2]
Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi, namun
sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu
Supanggah setelah riset yang intensif di Sulawesi
Selatan. [3][4]
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih
baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya ditambahkan ke
dalam lima instrumen Sulawesi
tradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru juga dibuat, sehingga
akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12
musisi. [4]
Para pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang
semuanya datang secara ekslusif dari Indonesia dan
sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa
dari komunitas non gender Bugis, Puang Matoa Saidi yang
menceritakan sebagian dari cerita. [1][3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar