Jumat, 03 Januari 2014

Kota Tua Donggala

Kota tua Donggala ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pada abad awal 20. Setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada tahun 1905, Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia yang menetapkan perubahan pembagian administrasi di pulau Sulawesi. Pelabuhan Donggala dulunya merupakan pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini. Sejak lama Donggala telah dikenal sebagai pelabuhan laut. Dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, kedua buku itu menyebut nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara.
Kabupaten Donggala mempunyai kerajinan sarung tenun yang sangat terkenal Sarung Tenun Donggala. Salah satu pusat tenun Donggala berada di Desa Limboro dimana tidak kurang 100 penenun setiap hari bekerja menenun kerajinan ini. Dengan peralatannya sangat sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu mereka tetap berusaha melestarikan warisan nenek moyang dengan tekun. Proses pembuatan kain tenun Donggala ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan. Motif yang ada antara lain: palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Sedangkan motif lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja. Buya Sabe, banyak digunakan pada cara-cara tertentu. Seperti pakaian pesta untuk orang tua, untuk menjamu tamu dari luar daerah, serta pakain untuk acara duka. Harganya tergantung motifnya,dengan harga termurah mencapai Rp 300 ribu dan paling mahal seharga Rp 650 ribu.
Satu lagi yang terkenal dari Donggala adalah Kaledo (konon singkatan dari Kaki Lembu Donggala) yang terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, biasa ditambahkan bawang goreng yang juga oleh-oleh khas Palu.
Yang bertahan di Pelabuhan Donggala saat ini hanya aktivitas nelayan saja dan sisa bangunan tua yang keropos dimakan usia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar